Konglomerasi Media (Media Conglomeration)
Konglomerasi
media adalah suatu istilah yang di ungkapkan oleh Ben H. Bagdikian (1980) yang pada saat itu menangkap perubahan besar
corak industri media masa. Konglomerasi media adalah situasi dimana para owner
pemilik perusahaan media melakukan koorporasi dengan perusahaan media lain
yang dianggap mempunyai visi atau misi yang sama. Pembentukan konglomerasi ini
dengan cara kepemilikan saham, bekerja sama/
penggabungan, atau pendirian kartel komunikasi dalam skala besar.
Jadi pada kesimpulannya konglomerasi
media bertujuan untuk mendominasi frekuensi publik dengan cara menguasai
seluruh komponen media masa yang fungsinya sebagai penyampai ideologis media
dalam kontruksi realitas yang membela kelompok sealiran ; dan penyerangan
terhadap kelompok yang berbeda halauan[1]
Di Indonesia fenomena konglomerasi media di mulai bisa di
identifikasi pasca reformasi dimana hukum tentang kebebasan pers di
canangngkan, hal ini tertera jelas pada UU No. 40 tahun 1999
disebutkan bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat
yang berdasarkan asas-asas demokrasi, keadilan dan supremasi hukum[2].
Namun kebebasan pers ini banyak sekali menuai pro dan kontra karena dalam aplikasinya
mengusung opini, perampasan hak publik, dominasi dan bahaya media di tangan
segelintir orang.
Dalam sejarah
perkembangan ekonomi dan politik media di Indonesia kemunculan lembaga
penyiaran komersil pertama di Indonesia pada sekitar tahun 1980 – an di era orde baru di gunakan untuk memperkuat
perekonomian Indonesia dalam mengantisipasi krisis migas.
Kembali pada
konteks tersebut televisi swasta untuk mendukung perkembangan industri media
RCTI (Rajawali Citra Televisi)
Indonesia yang di luncurkan pada 24 agustus tahun 1989 dan merupakan televisi
swasta pertama di Indonesia. Selama tahun 1989 sampai dengan tahun 1985
keberadaan televisi swasta bermunculan disusul SCTV (Surya citra televisi), TPI (Televisi
Pendidikan Indonesia), ANTV (Andalas
Televisi), dan Indosiar (Indosiar
Visual Mandiri). Dari kemunculan televisi swasta inilah bias penguasa orde
baru tercipta yang pada saat itu contohnya RCTI dimiliki Oleh Bambang
Trihatmojo (anak sulung Soeharto), SCTV dimiliki oleh Sudwikatmono (adik tiri
Soehato), ANTV dimiliki oleh Bakri Brother Group, dan Indosiar dimiliki oleh
Salim Group (partner bisnis keluarga Soeharto)[3].
Jadi seiring perkembangannya media –
media yang menjadi bias penguasa menjadikan peringatan tersendiri bagi publik.
Media yang seharusnya menjadi kontrol sosial beralih fungsi sebagai alat
penyalur kekuasaan.
No comments:
Post a Comment