Wednesday, April 15, 2015


ANEKDOT KONKLUSI (JURNALISTIK)
TEKNIK MENGUTIP BERITA PALING MUTAKHIR ZAMAN INI
;Oknum Wartawan (W) Menteri (M)
W1 : Pak, bapak lebih suka ayam goreng apa gulai kambing?
M : Ayam goreng
W1 : Pakai tepung atau tidak pak?
M : Pakai tepung
W1 : Model ayam goreng KFC ya pak
M : Ya kurang lebih mirip begitulah..
Headline : Menteri M lebih suka ayam goreng KFC model Amerika dan tidak suka gulai kambing tradisional Indonesia..

W2 menulis di berita online :
Terlaluu! Gaya Hidup Menteri M Kebarat-baratan
Si B bikin status FB :
Hati-hati Menteri M mendukung bisnis liberal kapitalis daripada pertumbuhan ekonomi kerakyatan
W3 menulis berita online abal-abal yang mencatut nama islam
Menteri M Benci Pada Daging Kambing Makanan Kesukaan Rasulullah SAW
Si A tweeting :
Astagfirullah.. Ada upaya penyesatan akhlaq, Kambing yang disukai Rasulullah SAW dianggap tidak baik oleh Menteri M. Kita akan digiring ke cara pandang kafir
Si C menulis dalam blog
Seperti yang sudah kita duga, industri kecil dan menengah lokal akan segera disingkirkan karena tidak menguntungkan pemerintah
Kelompok X Merencanakan Demo Penyesatan Akhlaq
Kelompok Y Merencanakan Demo Membela UKM
Menteri M menerima summary berita hari ini dari sekretarisnya
"Pak ini rangkuman berita-berita tentang anda seminggu ini"
M : ##!??/
Penasehat : Bagaimana kalau untuk meluruskan ini besok kita undang seluruh wartawan makan bersama dengan hidangan kambing Pak..
M : Budget-nya?
Penasehat : Tentu dengan budget kementrian, kan untuk menjaga nama baik bapak..
Tetooot ... grin emotikon ..grin emotikon
Penasehat 2 : Sepertinya kita harus belajar teknik komunikasi yang paling meminimalisir peluang disesatkan wartawan Pak. Hemat tenaga, biaya dan aman
M : Sepertinya cuma anda yang mikirnya bener di jaman ini


Konglomerasi Media (Media Conglomeration)


Konglomerasi media adalah suatu istilah yang di ungkapkan oleh Ben H. Bagdikian (1980)  yang pada saat itu menangkap perubahan besar corak industri media masa. Konglomerasi media adalah situasi dimana para owner pemilik perusahaan media melakukan koorporasi dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi atau misi yang sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara kepemilikan saham, bekerja sama/ penggabungan, atau pendirian kartel komunikasi dalam skala besar.
Jadi pada kesimpulannya konglomerasi media bertujuan untuk mendominasi frekuensi publik dengan cara menguasai seluruh komponen media masa yang fungsinya sebagai penyampai ideologis media dalam kontruksi realitas yang membela kelompok sealiran ; dan penyerangan terhadap kelompok yang berbeda halauan[1]
Di Indonesia fenomena konglomerasi media di mulai bisa di identifikasi pasca reformasi dimana hukum tentang kebebasan pers di canangngkan, hal ini tertera jelas pada UU No. 40 tahun 1999 disebutkan bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berdasarkan asas-asas demokrasi, keadilan dan supremasi hukum[2]. Namun kebebasan pers ini banyak sekali menuai pro dan kontra karena dalam aplikasinya mengusung opini, perampasan hak publik, dominasi dan bahaya media di tangan segelintir orang.
Dalam sejarah perkembangan ekonomi dan politik media di Indonesia kemunculan lembaga penyiaran komersil pertama di Indonesia pada sekitar tahun 1980 – an  di era orde baru di gunakan untuk memperkuat perekonomian Indonesia dalam mengantisipasi krisis migas.
Kembali pada konteks tersebut televisi swasta untuk mendukung perkembangan industri media RCTI (Rajawali Citra Televisi) Indonesia yang di luncurkan pada 24 agustus tahun 1989 dan merupakan televisi swasta pertama di Indonesia. Selama tahun 1989 sampai dengan tahun 1985 keberadaan televisi swasta bermunculan disusul SCTV (Surya citra televisi), TPI (Televisi Pendidikan Indonesia), ANTV (Andalas Televisi), dan Indosiar (Indosiar Visual Mandiri). Dari kemunculan televisi swasta inilah bias penguasa orde baru tercipta yang pada saat itu contohnya RCTI dimiliki Oleh Bambang Trihatmojo (anak sulung Soeharto), SCTV dimiliki oleh Sudwikatmono (adik tiri Soehato), ANTV dimiliki oleh Bakri Brother Group, dan Indosiar dimiliki oleh Salim Group (partner bisnis keluarga Soeharto)[3].
Jadi seiring perkembangannya media – media yang menjadi bias penguasa menjadikan peringatan tersendiri bagi publik. Media yang seharusnya menjadi kontrol sosial beralih fungsi sebagai alat penyalur kekuasaan.


[1] Ibnu Hamad 2004 KONTRUKSI REALITAS POLITIK Dalam MEDIA MASSA, Sebuah Study Critical Discourse Analysis terhadap Berita - berita Politik. Hal 26
[2] Elvinaro dan Lukiati komala Erdinaya, komunikasi massa suatu pengantar,( Bandung : Simbiosa Rekatama media, 2004 ), Hal. 199
[3] Kepemilikan dan Intervensi Siaran,Yayasan tifa dan PR2 Media, 2014 Hal 8 - 9